Tantangan dalam EOR

EOR mungkin sering kita dengar, yaitu Enhanced Oil Recovery. Tantangan dalam EOR menjadi perhatian besar di industri migas karena teknologi ini menjadi solusi strategis untuk mengoptimalkan produksi dari sumur-sumurnya. Yaitu sumur-sumur minyak & gas yang sudah memasuki tahap penurunan (mature fields). Secara umum EOR dilakukan setelah natural flow dan sekunder (waterflooding atau gas injection) tidak mampu mempertahankan laju produksi yang ekonomis.

EOR bukanlah suatu metode baru. Faktanya, teknologi ini telah digunakan sejak beberapa dekade lalu di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan faktor perolehan minyak (recovery factor) yang biasanya hanya mencapai 20–40% pada metode konvensional. Hence, targetnya adalah menambah produksi minyak hingga 10–20% dari cadangan awal yang ada.

Meski menjanjikan peningkatan produksi, EOR menghadapi berbagai tantangan teknis, ekonomi, lingkungan, dan SDM. Karena itu, mari kita bahas lebih mendalam.

Jenis-Jenis EOR

Sebelum membahas tantangan, penting untuk memahami jenis utama EOR:

Pertama, Chemical EOR
Menggunakan bahan kimia seperti polimer, surfaktan, atau alkali untuk menurunkan tegangan antar muka (interfacial tension) dan meningkatkan mobilitas minyak.

Kedua, Gas Injection EOR
Menginjeksikan gas seperti CO₂, nitrogen, atau hidrokarbon untuk menekan minyak dan mengurangi viskositasnya sehingga lebih mudah mengalir ke sumur produksi.

Ketiga, Thermal EOR
Menerapkan panas, misalnya dengan steam flooding atau in-situ combustion, untuk menurunkan viskositas minyak berat dan memudahkan alirannya.

Secara umum, setiap metode memiliki keunggulan dan tantangan tersendiri, tergantung karakteristik reservoir.

Tantangan Utama dalam Penerapan EOR

  1. Tantangan Teknis: Kompleksitas Reservoir

Tidak semua reservoir cocok untuk EOR. Karakteristik batuan, saturasi minyak, viskositas, dan distribusi tekanan harus dianalisis mendalam. Sebagai contoh:

  • Chemical EOR sulit diterapkan pada reservoir dengan kandungan air tinggi karena bahan kimia bisa cepat hilang terbawa air.
  • CO₂ injection efektif pada minyak ringan hingga medium, namun memerlukan reservoir yang mampu menjaga tekanan agar gas tetap larut.
  • Steam flooding cocok untuk minyak berat, tetapi membutuhkan infrastruktur besar dan konsumsi energi tinggi.

Banyak lapangan tua di Indonesia masih memiliki keterbatasan data geologi dan geofisika, sehingga pemodelan reservoir untuk EOR menjadi tantangan tersendiri.

  1. Tantangan Ekonomi: Biaya Tinggi

Implementasi EOR membutuhkan investasi besar. Biayanya meliputi:

  • Studi kelayakan dan desain proyek yang mendalam.
  • Pembangunan infrastruktur seperti fasilitas injeksi, pipa, kompresor, hingga sistem pemrosesan fluida.
  • Pengadaan bahan seperti surfaktan, polimer, atau gas CO₂ dalam volume besar.

Perusahaan harus menghitung BEP agar proyek tetap ekonomis, terutama ketika harga minyak yang fluktuatif membuat banyak rencana EOR tertunda saat harga minyak dunia rendah.

  1. Tantangan Logistik dan Infrastruktur

EOR sering diterapkan pada lapangan tua yang sudah berproduksi puluhan tahun. Artinya:

  • Infrastruktur lama mungkin tidak kompatibel dengan kebutuhan EOR.
  • Akses ke lokasi bisa menjadi kendala, terutama di lapangan offshore atau remote area.
  • Pengadaan material seperti gas CO₂ memerlukan jalur transportasi yang aman dan efisien.

Khususnya untuk offshore field, biaya logistik bisa meningkat berkali lipat dibandingkan proyek di darat.

  1. Tantangan Lingkungan

EOR, terutama chemical dan thermal, memiliki dampak lingkungan yang perlu dikelola:

  • Pembuangan limbah kimia yang bisa mencemari air tanah.
  • Emisi karbon dari pembakaran untuk menghasilkan uap pada thermal EOR.
  • Risiko kebocoran CO₂ pada injeksi gas, yang harus dimitigasi melalui monitoring ketat.

Oleh sebab itu, perusahaan migas wajib menerapkan standar HSE (Health, Safety, Environment) yang ketat, serta melakukan kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebelum proyek berjalan.

  1. Tantangan SDM: Keterbatasan Keahlian

EOR memerlukan tenaga ahli multidisiplin, mulai dari reservoir engineer, chemical engineer, hingga HSE specialist. On the other hand, jumlah tenaga kerja yang memiliki pengalaman mendalam di bidang EOR di Indonesia masih terbatas. So, perlu investasi dalam pelatihan dan kolaborasi dengan lembaga riset agar proyek EOR bisa berjalan optimal.

Studi Kasus: EOR di Indonesia

Indonesia telah mencoba berbagai metode EOR di lapangan migas. Misalnya:

  • Lapangan Minas (Riau) yang menggunakan waterflooding dan merencanakan EOR chemical.
  • Lapangan Duri (Riau) yang terkenal dengan proyek steam flooding sejak dekade 1980-an.
  • Lapangan Jatibarang (Jawa Barat) yang menguji coba injeksi surfaktan-polimer.

Meskipun demikian, proyek-proyek ini membutuhkan kolaborasi erat antara pemerintah, kontraktor, dan pihak swasta untuk memastikan kelayakan teknis dan ekonominya.

Jalan ke Depan: Apa yang Perlu Dilakukan?

Untuk menjawab tantangan tersebut, ada beberapa langkah yang perlu dilakukan:

  • Riset dan Inovasi → Mengembangkan formula bahan kimia yang lebih tahan terhadap kondisi reservoir lokal.
  • Kerjasama Pemerintah-Swasta → Memberikan insentif fiskal agar investasi EOR lebih menarik.
  • Pengembangan SDM → Meningkatkan kapasitas tenaga kerja melalui pelatihan EOR di level nasional dan internasional.
  • Integrasi Teknologi Digital → Pemanfaatan AI dan simulasi reservoir untuk memprediksi hasil EOR dengan lebih akurat.

Enhanced Oil Recovery (EOR) adalah kunci untuk memperpanjang umur lapangan minyak tua dan mengoptimalkan produksi. Namun, keberhasilannya ditentukan oleh kemampuan mengatasi tantangan teknis, ekonomi, logistik, lingkungan, dan SDM.

Kolaborasi multipihak, dan inovasi teknologi, EOR bisa menjadi solusi berkelanjutan bagi industri migas Indonesia, sekaligus membantu menjaga ketahanan energi nasional di

Scroll to Top